Jumat, 28 Maret 2014
POLITIK: 99% Capres Dan Caleg Berpotensi Jadi Maling Uang Rakyat
SISTEM politik Indonesia
boleh dikatakan belum profesional. Masih abal-abal. Mulai dari syarat-syarat
menjadi capres, cagub, cabup, cawali, caleg yang telalu mudah, syarat
mendirikan parpol yang terlalu mudah, koalisi parpol lebih dari 50%, sistem
pemilu/pemilukada yang sangat rawan disusupi orang-orang bayaran untuk
memenangkan calon pemimpin atau caleg tertentu, hingga ke berbagai instansi
politik seperti KPU, Bawaslu maupun MK . Semua bisa disusupi orang-orang
politik dari parpol tertentu
Apalagi ditambah dengan
demokrasi wani piro. Semuanya serba uang. Ingin jadi caleg, bayar. Ingin jadi
cawali, cabup, cagub, capres harus punya modal. Maka para calon politisipun
mencari uang dengan segala cara. Mulai dari menjual harta bendanya hingga utang
kesana-kemari hanya dengan tujuan mendapatkan kekuasaan.
Motivasi berpolitik yang
rendah
Sebagian besar motivasi
dari politisi telah berubah dengan radikal. Tidak lagi serius berjuang demi
bangsa dan negara, tetapi semata-mata ingin menang, berkuasa, mendapatkan
proyek besar, memperkaya diri sendiri dan mempertahankan kekuasaannya untuk
periode berikutnya.
Harus balik modal
Karena biaya politik yang
tinggi, mulai dari ratusan juta hingga triliunan rupiah, maka pastilah semua
politisi berpikir untuk balik modal. Omong kosong kalau ada yang mengatakan
tidak ingin balik modal. Politisi yang mengatakan tidak ingin balik modal akan
dianggap sbagai politisi bodoh. Maka hampir dipastikan 99% capres dan caleg
punya keinginan agar bisa kembali modal.
Harus mendapatkan
keuntungan
Balik modal saja tidaklah
cukup. Pasti ada keinginan atau motivasi untuk memperkaya diri. Bisa dengan
cara mendapatkan proyek-proyek besar. Bahkan kalau kepepet mencari uang dengan
segala cara termasuk pemborosan anggaran, cari alasan studi banding ke luar
negeri, memanipulasi dana ini dana itu dan jika perlu melakukan korupsi secara
besar-besaran. Bahkan jika perlu korupsi berjamaah.
Kenapa harus korupsi?
Mereka korupsi tidak
sekadar ingin balik modal, tetapi juga ingin kaya raya dengan cara mudah dan
cepat. Ingin rumah mewah, mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, bunga
deposito yang sangat besar, perhiasan emas intan berlian dalam jumlah banyak.
Boleh dikatakan tidak ada politisi yang ingin rugi atau jadi kere. Pola pikir
dan gaya hidup hedonisme telah meracubi logika dan kehidupan mereka.
Bukankah mereka sudah
disumpah?
Bagi mereka sumpah
merupakan acara seremonial saja. Basa-basi saja. Soal sanksi hukuman selama
masih hidup atau sanksi di akherat, baginya masih abstrak. Itu urusan nanti.
Yang penting begitu ada kesempatan korupsi, ya korupsilah.
Ritual agama hanya
basa-basi saja
Bukankah mereka rajin
beribadah? Ya, iyalah. Tapi bagi mereka, ibadah hanya ritual basa-basi saja.
Mereka beribadah hanya fisiknya saja, sedangkan rohaninya tidak beribadah.
Mereka adalah orang-orang yang beriman tipis.
Dosa bisa dihapus,kok.
Walaupun mereka tahu
korupsi itu dosa, tapi mereka punya anggapan, kalau mereka puasa pada bulan
Ramadhan, maka semua dosa-dosanya akan diampuni Tuhan. Apalagi kalau sudah tua
nanti, mereka percaya kalau melakukan tobat Nasuha, pastilah semua dosanya akan
diampuni Tuhan. Apalagi kalau naik haji, mereka yakin akan masuk sorga. Mereka
lupa atau tidak tahu bahwa bertobat itu ada syaratnya, yaitu harus
mengembalikan semua hasil korupsinya sesuai dengan nilai sekarang ditambah
menjalani hukuman sepenuhnya (tanpa menyuap agar dapat remisi besar atau
pengurangan hukuman).
Semangat pro rakyat hanya
awalnya saja
Idealisme pro rakyat hanya
awalnya saja. Bahkan terkesan hanya basa-basi saja. Yang demi rakyatlah. Demi
kersejahteraan rakyatlah. Sembako
murahlah. Pendidikan gratis hingga sarjanalah. Perbaikan jalanlah. Membela
petani dan buruhlah. Sejuta idealisme dan janji-janji awal, akhirnya terlupakan
karena ada target untuk kembali modal dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya
idealisme memperjuangkan bangsa dan negara merupakan prioritas ke 999 atau
terakhir. Itupun kalau ingat.
Tidak berkualitas
Boleh dikatakan 99% hasil
politisi yang terpilih tidak berkualitas. Target pembuatan undang-undang tidak
pernah tercapai, hanya sekitar 20% dari target. Anggaran rutin selalu lebih
besar daripada anggaran pembangunan. Jumlah utang pemerintah bertambah terus
danbukannya berkurang. Pemborosan di berbagai bidang. Pembangunan infra
struktur kedodoran.
Capres dan caleg yang tidak
profesional
Beberapa capres tergolong
tidak profesional. Capres A, mengelola BUMN saja rugi Rp 37 triliun. Capres B,
perusahaan-perusaahaannya terlilit utang Rp 78 triliun. Capres C, mengelola
perusahaan pribadinya saja terlilit utang Rp 14, 3 triliun. Kalau mengelola
perusahaan saja terlilit utang, apalagi mengelola negara : bisa bangkrut!
Apalagi caleg. Terlalu mudah jadi caleg. Artis boleh, tukang tambal ban boleh,
tukang sol sepatu boleh, mantan pelacurpun boleh. Tidak ada syarat-syarat ketat
untuk menjadi politisi. Syarat-syaratnya lebih menitikberatkan syarat-syarat
administrasi dan kesehatan. Tidak menitikberatkan syarat-syarat tentang
kualitas politisi. Hasilnya adalah politisi-politisi abal-abal.
Korupsi akan semakin
merajalela
Hasil pemilu 2014 pastilah
akan lebih banyak menghasilkan calon-calon koruptor, sebab persaingannya sangat
ketat dan butuh modal politik yang sangat besar. Apalagi, mereka semakin lama
akan semakin tahu caranya menjadi koruptor yang profesional. Antara lain dengan
cara korupsi berjamaah, menghilangkan barang bukti, memanipulasi barang bukti
dan cara-cara lain yang sulit dideteksi oleh PPATK maupun KPK. Artinya, virus
korupsi akan berkembang biak dengan lebih luas. Bahkan boleh dikatakan 99%
capres dan caleg berpotensi menjadi koruptor alias maling uang rakyat.
Catatan:
-Maaf, saya jarang membaca
komen-komen
-99% = pengganti kata
“sangat banyak”
Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar